Jakarta – Saepul Tavip, yang memimpin Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII). Menyatakan bahwa sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dari BPJS Kesehatan. Bisa menurunkan kualitas layanan kesehatan bagi pekerja yang sebelumnya mendapatkan pelayanan yang lebih baik.
IHII berfokus pada penelitian kebijakan terkait tenaga kerja dan sistem jaminan sosial di Indonesia, terutama yang berhubungan dengan hak-hak para pekerja.
“Para pekerja yang saat ini berada di kelas 1 dan 2 akan mengalami penurunan kelas. Ini jelas bukan langkah yang memperbaiki layanan,” kata Saepul setelah mengadakan pertemuan tertutup dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Koordinator Forum Jamsos untuk membahas KRIS BPJS Kesehatan di Jakarta pada cvtogel hari Rabu.
Dia menjelaskan bahwa jika pemerintah ingin meningkatkan kualitas layanan kesehatan, yang harus dilakukan adalah memperbaiki fasilitas yang kurang memadai, bukan menyamakan semua kelas.
Kebijakan KRIS dinilai memiliki risiko besar dalam menciptakan ketidakpuasan di kalangan peserta. Hal ini karena akan menghilangkan pilihan layanan berdasarkan kelas yang selama ini menjadi dasar sistem iuran BPJS.
“Para pekerja merasa tidak adil. Jika iuran yang dibayar berbeda, layanan juga seharusnya berbeda. Jangan menyamakan semuanya dan menurunkan kualitas yang sudah baik,” katanya.
Saepul juga menyebut bahwa saat ini pembahasan mengenai KRIS masih berjalan dalam beberapa kelompok kerja yang melibatkan berbagai pihak.
Namun, mereka mendesak agar pemerintah membuat keputusan yang jelas sebelum 1 Juli 2025 untuk tidak menerapkan KRIS, guna menghindari kegelisahan di masyarakat.
“Jika tetap dipaksakan, kami akan turun ke lapangan. Kami punya berbagai cara konstitusional untuk menyampaikan penolakan,” ungkapnya.
Pelaksanaan KRIS diatur dalam Perpres Nomor 59/2024, yang merupakan amandemen ketiga dari Perpres Nomor 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.
KRIS adalah sistem baru yang akan menghilangkan skema kelas 1, 2, dan 3 dalam BPJS Kesehatan, dan menggantinya dengan satu standar untuk ruang rawat inap bagi semua peserta. Kebijakan ini mendapatkan beragam tanggapan yang meminta peninjauan kembali, terutama dari kalangan pekerja.
Nunung Nuryartono, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), sebelumnya menyatakan bahwa mereka telah menerima aspirasi penolakan dari Forum Jamsos dan akan segera membahasnya secara mendalam bersama pemerintah untuk mencapai hasil yang adil dan komprehensif.